TRADISI KEBO-KEBOAN BANYUWANGI

    Banyuwangi adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur dengan segudang daya tarik. Bukan hanya kejutan alam memesona namun juga sentuhan budayanya yang tetap lestari hingga kini. Ketika Anda sudah rampung mendaki gunung demi keajaiban dan eloknya kawah ijen, menerobos lebatnya hutan Alas Purwo, atau berselancar di G-land yang melegenda maka gemerlap budaya di timur Pulau Jawa ini perlu disempurnakan dengan melihat langsung ritual adat kebo-keboan atau kerbau jadi-jadian.

   Selain tari gandrung yang terkenal itu, kebo-keboan adalah satu lagi budaya daerah Banyuwangi yang patut Anda saksikan dan selami. Datanglah ke Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi dan Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana ritual itu dihelat dalam suasana penuh suka cita sekaligus pengharapan yang meruah. Rutinnya setiap tahun kebo-keboan berlangsung antara tanggal 1 sampai 10 bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Keramaian tentunya terjadi terlebih biasanya kegiatan ini dipilih di hari Minggu.



    Kebo-keboan merupakan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun dan dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dari petani sekaligus pengharapan agar hujan turun menyuburkan ladang mereka. Selepas ritual ini, petani dan warga berharap tanah akan subur, panen akan melimpah, serta terhindar dari malapetaka, baik itu yang akan menimpa tanaman maupun kepada warga yang mengerjakannya.

    Anda akan melihat puluhan orang berdandan seperti kerbau dan bertingkah polah layaknya kerbau. Mereka umumnya laki-laki bertubuh kekar mengenakan celana pendek, kulit mereka dilumuri arang hitam dan rambut palsu dengan tanduk kerbau, pun lonceng kayu tergantung di leher seperti kerbau. Mereka tidak terkendali dan kesurupan seperti kerbau, terkadang melenguh, makan rumput, dan sering kali juga mengejar penonton. Kebo-keboan ini pun berkubang di sawah basah, beraksi membajak sawah, serta diarak keliling desa diiringi pawai warga.

    Keseruan akan terjadi ketika benih biji padi disebar dan warga memperebutkannya karena diyakini sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan dan membawa berkah. Demi benih itu warga akan saling bergumul dengan kebo-keboan dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami dan akan puas setelah mendapat benih, ikut berkubang dalam lumpur dalam suasana suka cita.
   Sebelum ritual kebo-keboan dilangsungkan, beberapa hari warga desa akan mempersiapkan semua keperluan acara ini secara bergotong-royong. Mereka akan membuat sesajen berupa tumpeng ayam dan sajian masakan tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda. Disiapkan pula hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, dan pala kesimpar. Tanaman tersebut akan ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Warga juga akan mempersiapkan pula bendungan yang nantinya digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.



    Ritual kebo-keboan akan melibatkan sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, kebo-keboan, pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan, dan warga untuk bersama-sama melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan membuka bendungan agar air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija.

     Awalnya ritual kebo-keboan ini berlangsung di dua tempat yang dihuni mayoritas suku Using, yakni di Desa Alasmalang di Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan di Kecamatan Rogojampi. Diperkirakan ritual ini sudah dijalankan sejak 300 tahun lalu ketika kedua desa tersebut terjadi musibah brindeng atau pagebluk (wabah penyakit) yang berkepanjangan bagi warga dan tanaman mereka. Seorang tetua warga, yaitu Mbah Karti mendapat wangsit untuk melaksanakan ritual selamatan (ruwatan) desa dengan mendandani beberapa warga seperti kerbau sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri (simbol kesuburan dan kemakmuran). Kerbau menjadi elemen utama dalam tradisi ini karena dinilai simbol tumpuan mata pencaharian dan rekan setia petani.



    Selepas menyaksikan ritual kebo-keboan, Anda juga dapat menyambangi makam keluarga Mbah Karti dan keturunannya di Alasmalang. Di tempat ini terdapat batu mirip tempat tidur yang dikenal dengan nama Watukloso. Diyakini batu tersebut dahulu tempat istirahat Mbah Karti. Nama Alasmalang sendiri berasal dari kata alas (hutan) dan malang (melintang), itu dikaitkan dengan keberadaan hutan yang melintang di atas bukit panjang di daerah tersebut.

1 komentar: